Kamis, 24 Maret 2011

menuntut ilmu dalam pandangan islam


Menuntut ilmu dalam pandangan islam

"Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri cina".

Kadang-kadang kita lupa untuk apa sebenarnya kita menuntut ilmu, dan kita
juga lupa apa hukumnya menuntut ilmu dalam agama Islam. Dalam hal tersebut,
saya ingin mengingatkan kembali untuk apa sebenarnya, dan apa hukumnya kita
menuntut ilmu dalam agama Islam. Hal ini saya sadur dari buku "Ilmu fiqih
Islam" karangan Drs.H.Moh.Rifai.

Insya Allah tulisan ini bisa mengingatkan kembali dan akan menjadi patokan
untuk kita melanjutkan perjalanan kita dalam menuntut ilmu, baik ilmu dunia
maupun ilmu akhirat....amin ya rabbal alamin

1.. HUKUM MENUNTUT ILMU.
Apabila kita memperhatikan isi Al-Quran dan Al-Hadist, maka terdapatlah
beberapa suruhan yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan, untuk menuntut ilmu, agar mereka tergolong menjadi umat yang
cerdas, jauh dari kabut kejahilan dan kebodohan. Menuntut ilmu artinya
berusaha menghasilkan segala ilmu, baik dengan jalan menanya, melihat atau
mendengar. Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadist Nabi
Muhammad saw :
Artinya :
"Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun
perempuan". (HR. Ibn Abdulbari)

Dari hadist ini kita memperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan
pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui
segala kemashlahatan dan jalan kemanfaatan; menyelami hakikat alam, dapat
meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang
lalu, baik yang berhubungan dangan 'aqaid dan ibadat, baik yang berhubungan
dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup.

Nabi Muhammad saw. bersabda :
Artinya :
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah
ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia)
diakhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang
meginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR.
Bukhari dan Muslim)

Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan
berguna untuk menuntut kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
kita di dunia, agar tiap-tiap muslim jangan picik ; dan agar setiap muslim
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan
bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang diridhai Allah swt.Demikian
pula Islam mewajibkan kita menuntut ilmu akhirat yang menghasilkan natijah,
yakni ilmu yang diamalkan sesuai dengan perintah-perintah syara'.Hukum
wajibnya perintah menuntut ilmu itu adakalanya wajib 'ain dan adakalnya
wajib kifayah.

Ilmu yang wajib 'ain dipelajari oleh mukallaf yaitu yang perlu diketahui
untuk meluruskan 'aqidah yang wajib dipercayai oleh seluruh muslimin ; dan
yang perlu di ketahui untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Disamping itu perlu dipelajari ilmu akhlak untuk mengetahui adab sopan
santun yang perlu kita laksanakan dan tingkah laku yang harus kita
tinggalkan. Disamping itu harus pula mengetahui kepandaian dan keterampilan
yang menjadi tonggak hidupnya.

Adapun pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan sehari-hari maka di
wajibkan mempelajarinya kalau di kehendaki akan melaksanakannya, seperti
seseorang yang hendak memasuki gapura pernikahan, seperti syarat-syarat dan
rukun-rukunnya dan segala yang di haramkan dan dihalalkan dalam menggauli
istrinya.
Sedang ilmu yang wajib kifayah hukum mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang
hanya menjadi pelengkap, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadist dan sebagainya.

1.. MENUNTUT ILMU SEBAGAI IBADAT.
Dilihat dari segi ibadat, sungguh menuntut ilmu itu sangat tinggi nilai
dan pahalanya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.

Artinya :

"Sungguh sekiranya engkau melangkahkan kakinya di waktu pagi (maupun
petang), kemudian mempelajari satu ayat dari Kitab Allah (Al-Quran), maka
pahalanya lebih baik daripada ibadat satu tahun".

Dalam hadist lain dinyatakan :

Artinya :

"Barang siapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk
golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai
pulang kembali".

Mengapa menuntut ilmu itu sangat tinggi nilainya dilihat dari segi
ibadat?. Karena amal ibadat yang tidak dilandasi dengan ilmu yang
berhubungan dengan itu, akan sia-sialah amalnya. Syaikh Ibnu Ruslan dalam
hal ini menyatakan :

Artinya :

"Siapa saja yang beramal (melaksanakan amal ibadat) tanpa ilmu, maka
segala amalnya akan ditolak, yakni tidak diterima".

2.. DERAJAT ORANG YANG BERILMU.
Kalau kita telah mempelajari dan memiliki ilmu-ilmu itu, apakah kewajiban
kita yang harus ditunaikan?.
Kewajiban yang harus ditunaikan ialah mengamalkan segala ilmu itu, sehingga
menjadi ilmu yang bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri maupun bagi orang
lain.
Agar bermanfaat bagi orang lain hendaklah ilmu-ilmu itu kita ajarkan kepada
mereka. Mengajarkan ilmu-ilmu ialah memberi penerangan kepada mereka dengan
uraian lisan, atau dengan melaksanakan sesuatu amal di hadapan mereka, atau
dengan jalan menyusun dan mengarang buku-buku untuk dapat diambil
manfaatnya.

Mengajarkan ilmu kecuali memang diperintah oleh agama, sungguh tidak
disangkal lagi, bahwa mengajar adalah suatu pekerjaan yang seutama-utamanya.
Nabi diutus ke dunia inipun dengan tugas mengajar, sebagaimana sabdanya :
Artinya :
"Aku diutus ini, untuk menjadi pengajar".(HR. Baihaqi)

Sekiranya Allah tidak membangkitkan Rasul untuk menjadi guru manusia, guru
dunia, tentulah manusia tinggal dalam kebodohan sepanjang masa.
Walaupun akal dan otak manusia mungkin menghasilkan berbagai ilmu
pengetahuan, namun masih ada juga hal-hal yang tidak dapat dijangkaunya,
yaitu hal-hal yang diluar akal manusia. Untuk itulah Rasul Allah di
bangkitkan di dunia ini.
Mengingat pentingnya penyebaran ilmu pengetahuan kepada manusia/masyarakat
secara luas, agar mereka tidak dalam kebodohan dan kegelapan, maka di
perlukan kesadaran bagi para mualim, guru dan ulama, untuk beringan tangan
menuntun mereka menuju kebahagian dunia dan akhirat. Bagi para guru dan
ulama yang suka menyembunyikan ilmunya, mendapat ancaman, sebagaimana sabda
Nabi saw.
Artinya :"Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikan
(tidak mau memberikan jawabannya), maka Allah akan mengekangkan (mulutnya),
kelak dihari kiamat dengan kekangan ( kendali) dari api neraka".(HR Ahmad)

Marilah kita menuntut ilmu pengetahuan, sesempat mungkin dengan tidak ada
hentinya tanpa absen sampai ke liang kubur, dengan ikhlas dan tekad
mengamalkan dan menyumbangkannya kepada masyarakat, agar kita semua dapat
mengenyam hasil dan buahnya.

Rabu, 23 Maret 2011


Adab adab bertamu



1. Memperbaiki Niat
Tidak bisa dipungkiri bahwa niat merupakan landasan dasar dalam setiap amalan. Hendaklah setiap muslim yang akan bertamu, selain untuk menunaikan hajatnya, juga ia niatkan untuk menyambung silaturahim dan mempererat ukhuwah. Sehingga,… tidak ada satu amalan pun yang ia perbuat melainkan berguna bagi agama dan dunianya. Tentang niat ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امريء ما نوى
“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat dan setiap orang tergantung pada apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari, Muslim dan selain keduanya).
Ibnul-Mubarak berkata :
رب عمل صغير تعظمه النية ورب عمل كبير تصغره النية
“Betapa amal kecil diperbesar oleh niatnya dan betapa amal besar diperkecil oleh niatnya” (Jaami’ul-Ulum wal-Hikam halaman 17 – Daarul-Hadits).
2. Memberitahukan Perihal Kedatangannya (untuk Minta Ijin) Sebelum Bertamu
Adab ini sangat penting untuk diperhatikan. Mengapa ? Karena tidak setiap waktu setiap muslim itu siap menerima tamu. Barangkali ia punya keperluan/hajat yang harus ditunaikan sehingga ia tidak bisa ditemui. Atau barangkali ia dalam keadaan sempit sehingga ia tidak bisa menjamu tamu sebagaimana dianjurkan oleh syari’at. Betapa banyak manusia yang tidak bisa menolak seorang tamu apabila si tamu telah mengetuk pintu dan mengucapkan salam padahal ia punya hajat yang hendak ia tunaikan.
Allah telah memberikan kemudahan kepada kita berupa sarana-sarana komunikasi (surat, telepon, sms, dan yang lainnya) yang bisa kita gunakan untuk melaksanakan adab ini.
3. Menentukan Awal dan Akhir Waktu Bertamu
Adab ini sebagai alat kendali dalam mengefisienkan waktu bertamu. Tidak mungkin seluruh waktu hanya habis untuk bertamu dan melayani tamu. Setiap aktifitas selalu dibatasi oleh aktifitas lainnya, baik bagi yang bertamu maupun yang ditamui (tuan rumah). Apabila memang keperluannya telah usai, maka hendaknya ia segera berpamitan pulang sehingga waktu tidak terbuang sia-sia dan tidak memberatkan tuan rumah dalam pelayanan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فإذا قضى أحدكم نهمته من وجهه فليعجل إلى أهله
“Apabila salah seorang diantara kamu telah selesai dari maksud bepergiannya, maka hendaklah ia segera kembali menuju keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Berwajah Ceria dan Bertutur Kata Lembut dan Baik Ketika Bertemu
Wajah muram dan tutur kata kasar adalah perangai yang tidak disenangi oleh setiap jiwa yang menemuinya. Allah telah memerintahkan untuk bersikap lemah lembut, baik dalam hiasan rona wajah maupun tutur kata kepada setiap bani Adam, dan lebih khusus lagi terhadap orang-orang yang beriman. Dia telah berfirman :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hijr : 88).
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata : [ألن لهم جانبك, كقوله: {لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم}] “Maksudnya bersikap lemah lembutlah kepada mereka sebagaimana firman Allah ta’ala : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang beriman” (QS. At-Taubah : 128).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا تحقرن من المعروف شيئا ولو أن تلقى أخاك بوجه طلق
“Janganlah sekali-kali kamu meremehkan sedikitpun dari kebaikan-kebaikan, meskipun hanya kamu menjumpai saudaramu dengan muka manis/ceria” (HR. Muslim).
Selain berwajah ceria dan bertutur kata lembut, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah hendaklah ia berkata baik dan benar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan tegas telah memebri peringatan :
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam” (HR. Bukhari, Muslim, dan selain keduanya. Hadits ini terdapat dalam Arba’in Nawawi nomor 15).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menggandengkan kata iman dengan pilihan antara berbicara baik atau diam. Mafhumnya, jika seseorang tidak mengambil dua pilihan ini, maka ia dikatakan tidak beriman (dalam arti : imannya tidak sempurna). Hukum asal dari perbuatan adalah diam. Kalaupun ia ingin berkata, maka ia harus berkata dengan kata-kata yang baik. Sungguh rugi jika seseorang bertamu dan bermajelis dengan mengambil perkataan sia-sia lagi dosa seperti ghibah, namimah (adu domba), dan lainnya yang tidak menambah apapun dalam timbangan akhirat kelak kecuali dosa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن الرجل ليتكلم بالكلمة ما يتبين ما فيها يزل بها في النار أبعد ما بين المشرق والمغرب
‘Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata, ia tidak menyangka bahwa ucapannya menyebabkan ia tergelincir di neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat” (HR. Bukhari dan Muslim).
5. Tidak Sering Bertamu
Mengatur frekwensi bertamu sesuai dengan kebutuhan dapat menimbulkan kerinduan dan kasih-sayang. Hal itu merupakan sikap pertengahan antara terlalu sering dan terlalu jarang. Terlalu sering menyebabkan kebosanan. Sebaliknya, terlalu jarang mengakibatkan putusnya hubungan silaturahim dan kekeluargaan.
6. Dianjurkan Membawa Sesuatu Sebagai Hadiah
Memberi hadiah termasuk amal kebaikan yang dianjurkan. Sikap saling memberi hadiah dapat menimbulkan perasaan cinta dan kasih saying, karena pada dasarnya jiwa senang pada pemberian. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تهادوا تحابوا
“Berilah hadiah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad 594; dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwaa’ nomor 1601).
7. Tidak Boleh Seorang Laki-Laki Bertamu kepada Seorang Wanita yang Suaminya atau Mahramnya Tidak Ada di Rumah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sangat keras menekankan pelarangan ini sebagaimana sabda beliau :
إياكم والدخول على النساء فقال رجل من الأنصار يا رسول الله أفرأيت الحمو قال الحمو الموت
“Janganlah sekali-kali menjumpai wanita”. Maka seorang laki-laki dari kaum Anshar bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan Al-Hamwu?”. Beliau menjawab : “Al-Hamwu adalah maut” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Al-Baghawi dalam menerangkan hadits ini mengatakan : Al-Hamwu jamaknya Ahma’ yaitu keluarga laki-laki dari pihak suami dan keluarga perempuan dari pihak istri. Dan yang dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki suami (ipar) sebab dia bukan mahram bagi istri. Dan bila yang dimaukan adalah ayah suami sedang ayah suami adalah mahram, maka bagaimana lagi dengan yang bukan mahram ?
Tentang kalimat “Al-Hamwu adalah maut”; Ibnul-‘Arabi berkata : “Ini adalah kalimat yang diucapkan oleh orang Arab, sama dengan ungkapan : Serigala adalah maut. Artinya, bertemu serigala sama dengan bertemu maut”.
8. Dan Lain-Lain
Masih banyak adab-adab bertamu jika diuraikan secara lebih luas lagi seperti memilih waktu untuk bertamu, mengucapkan salam, menjaga pandangan, dan yang lainnya dimana sebagiannya telah dituliskan sebelumnya di “Adab-Adab Minta Ijin”. Sedikit yang bisa dituliskan di atas semoga bermanfaat bagi kita semua. Allaahu a’lam.